Dampak Dari Suami-Istri Atau Salah Satunya Masuk Islam Terhadap Status Pernikahan
DAMPAK DARI SUAMI-ISTRI ATAU SALAH SATUNYA MASUK ISLAM TERHADAP STATUS PERNIKAHAN
Oleh
Humaidhi bin Abdul Aziz bin Muhammad Al-Humaidhi
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : “Apabila suami-istri masuk Islam secara bersamaan, maka pernikahan mereka dinyatakan sah. Tidak perlu ditanyakan perihal bagaimana sebelum masuk Islam, apakah pernikahannya sah atau tidak? Selama tidak ada sebab yang membatalkan pernikahan tersebut. Misalnya, jika keduanya masuk Islam, sementara dia menikahi istrinya masih pada masa iddah orang lain, atau istrinya sebagai orang haram dinikahi, baik haram dinikahi untuk sementara waktu atau selama-lamanya. Sebagaimana juga, jika istrinya sebagai orang yang haram dinikahi karena adanya hubungan nasab atau saudara sesusuan, atau istrinya sebagai orang yang tidak boleh disatukan dengan istrinya yang lain, seperti dua wanita yang bersaudara dan yang semisalnya… Apabila keduanya masuk Islam, sedangkan keduanya adalah orang yang haram menikah karena ada hubungan nasab atau saudara sesusuan … maka keduanya harus diceraikan berdasarkan kesepakatan para ahli ilmu (ulama)”[1]
Adapun jika salah satu dari suami istri tersebut masuk Islam, kemudian yang lain juga masuk Islam setelahnya, maka para ulama masih berbeda pendapat menjadi lima pendapat.
Pendapat Pertama
Menurut sekelompok madzhab Zhahiriyah : “… Kapan saja seorang wanita masuk Islam, seketika itu juga pernikahan dengan suaminya batal. Sama saja, baik dia seorang wanita Ahli Kitab atau bukan dari Ahli Kitab, baik sang suami kemudian menyusul masuk Islam setelah dirinya meskipun hanya sekejab mata atau ada jarak waktu. Tidak ada jalan lagi bagi sang suami atas istrinya kecuali jika keduanya masuk Islam secara bersama-sama dalam satu waktu. Begitu pula, jika sang suami masuk Islam sebelum istrinya, maka pernikahan dengan istrinya juga batal pada waktu dia masuk Islam, meskipun hanya sekejab mata kemudian sang istri menyusul masuk Islam”[2]
Pendapat Kedua
Menurut madzhab Hanafiyah : “Apabila seorang wanita masuk Islam sementara suaminya masih kafir, hendaklah ditawarkan kepada si suami agar masuk Islam jika keduanya berada di Darul Islam (Negara Islam). Jika si suami masuk Islam, maka wanita tersebut masih menjadi istrinya, dan jika dia menolak, maka seorang hakim berhak menceraikan keduanya. Sedangkan jika (keduanya) berada di Darul Harb (Negeri kafir yang berhak diperangi), hal itu cukup didiamkan sampai masa iddah si wanita habis. Apabila si suami tidak juga masuk Islam, maka dia diceraikan. Jika penolakan dari pihak suami, itu berarti talak, karena pernyataan cerai berasal dari pihaknya, sehingga hal itu disebut dengan talak, sebagaimana halnya jika dia melafalkan kalimat talak. Namun, jika penolakan dari pihak istri, hal itu batal, karena wanita tidak memiliki hak talak”[3]
Pendapat Ketiga
Menurut Imam Malik : “Apabila istri masuk Islam, hendaklah ditawarkan kepada suaminya agar masuk Islam. Jika suami masuk Islam, (pernikahannya tetap sah), dan jika menolak, dia harus diceraikan. Adapun jika si suami yang masuk Islam, maka harus segera diceraikan”. Ibnu Abdil Barr menyebutkan : “Apabila suami dari Ahli Kitab masuk Islam sebelum istrinya yang juga beragama Ahli Kitab, maka pernikahan keduanya tetap sah, karena agama Islam membolehkan menikahi wanita Ahli Kitab. Namun, jika wanita tersebut bukan dari Ahli Kitab, maka keduanya harus segera diceraikan, kecuali wanita tersebut masuk Islam tidak lama kemudian setelah suaminya. Dan apabila sang istri masuk Islam lebih dulu sebelum suaminya yang juga beragama Ahli Kitab atau bukan dari Ahli Kitab, kemudian sang suami menyusul masuk Islam masih pada masa iddah istrinya, maka dia berhak atas istrinya tanpa harus rujuk atau membayar mahar kembali. Adapun wanita yang belum disetubuhi, maka dia tidak mempunyai masa iddah. Oleh karenanya, apabila wanita tersebut masuk Islam, maka keduanya harus diceraikan dengan perceraian tanpa ada kalimat talak dan tidak pula mahar, karena si suami belum menyetubuhinya”[4]
Pendapat Keempat
Menurut madzhab Syafi’iyah dan Hanbaliyah : ‘Pernikahan itu batal apabila salah satu dari suami istri lebih dahulu masuk Islam dengan syarat belum melakukan persetubuhan, … maka menurut madzhab Syafi’iyah dan Hanbaliyah yang masyhur dari mereka bahwa perceraiannya ditangguhkan sampai habis masa iddah. Jika suami atau istri tersebut masuk Islam masih pada masa iddah, maka pernikahannya tetap sah. Dan jika dia masuk Islam setelah habis masa iddah maka pernikahannya batal. Pendapat ini juga diambil oleh Al-Auza’i, Az-Zuhri, Al-Laits dan Ishaq”[5]
Pendapat Kelima
Seorang istri apabila masuk Islam sebelum suaminya, maka pernikahannya dibekukan. Jika dia menginginkan perceraiann maka akan diceraikan dengan suaminya, dan jika menginginkan tetap bersamanya –maksudnya tetap menunggu dan menanti suaminya-, maka kapan saja si suami masuk Islam, maka dia tetap menjadi istrinya, selama wanita tersebut belum menikah dengan laki-laki lain, meskipun telah berlalu sekian tahun. Persoalan ini diserahkan kepada wanita tersebut. Tidak ada hak bagi suaminya untuk bersikap tegas kepada istrinya, begitu pula sebaliknya, si istri tidak mempunyai hak untuk bersikap tegas kepada suaminya. Ketentuan hukum ini juga berlaku jika sang suami yang lebih dulu masuk Islam.
Ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya, Ibnul Qayyim, Hammad bin Abi Sulaiman juga menfatwakan dengannya. Sebagian ulama ada yang menukil bahwa Imam Malik juga memilih pendapat ini. Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu.[6]
DALIL-DALIL PENDAPAT DIATAS
Dalil-Dalil Pendapat Pertama –Madzhab Zhahiriyah-:
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ ۖ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ ۖ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ ۖ وَآتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۚ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنْفَقُوا ۚ ذَٰلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ ۖ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka ; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada mereka (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir ; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar ; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu” [al-Mumtahanah/60 : 10][7]
Ini adalah ketentuan hukum Allah yang tidak ada seorangpun boleh melanggarnya. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkan seorang wanita kembali kepada laki-laki (suami) yang kafir.
2. Diriwayatkan dengan shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda.
اَلْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
“Seorang muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang menjauhi segala apa ang dilarang oleh Allah”[HR Al-Bukhari][8]
Setiap orang yang masuk Islam berarti telah menjauhi kekafiran yang telah dilarang, sehingga dia disebut sebagai muhajir (orang yang hijarah).
Dalil-Dalil Pendapat Kedua –Madzhab Hanafiyah-.
1. Ijma’ (kesepakatan) para shahabat Radhiyallahu ‘anhu. Diriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki dari Bani Tsa’lab yang istrinya masuk Islam. Kemudian Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu menawarkan Islam kepadanya, namun dia menolk, sehingga Umar menceraikan keduanya[9]. Persitiwa tersebut disaksikan oleh para shahabat yang lain dan mereka tidak mengingkarinya, sehingga ini menjadi ijma.
2. Karena dengan masuk Islam, tidak ada lagi tujuan-tujuan pernikahan antara keduanya, yaitu tujuan memiliki, menggauli, tempat menyalurkan kebutuhan biologis, menyambung keturunan dan lainnya. Sehingga harus ada sebab yang akan membangun kembali tujuan kepemilikan yang telah hilang tersebut. Sementara, Islam adalah agama ketaatan yang menetapkan jaminan keamanan, bukan memutusnya. Demikian pula, orang yang terus menerus dalam kekafiran, tidak akan dapat menafikannya, baik dalam keadaan permulaan maupun keadaan selanjutnya sebelum masuk Islam[10].
Dalil-Dalil Pendapat Ketiga –Madzhab Malikiyah-
Dalam menyatakan pendapat tersebut. Madzhab Malikiyah berhujah dengan dalil-dalil berikut.
1. Ketika suami atau istri masuk Islam sebelum melakukan persetubuhan, mereka berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ
“Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir” [al-Mumtahanah /60: 10]
Wanita tersebut tidak mempunyai masa iddah, sehingga pernikahan keduanya akan terputus (batal) seketika itu juga saat salah satu dari suami istri masuk Islam.[11]
2. Adapun ketika sang istri masuk Islam setelah melakukan persetubuhan, mereka berdalil dengan dalil-dalil berikut.
- Hadits yang diriwayatkan oleh Malik dengan sanad darinya sendiri : Bahwasanya Ummu Hakim binti Al-Harits bin Hisyam adalah istri Ikrimah bin Abu Jahal. Dia masuk Islam pada hari penaklukan Makkah, sedangkan suaminya, Ikrimah, lari enggan masuk Islam hingga sampai ke negeri Yaman. Lantas Ummu Hakim berangkat menyusul suaminya hingga dapat menemuinya di Yaman. Dia pun mengajak suaminya masuk Islam. Akhirnya suaminya (Ikrimah) masuk Islam, lalu datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih pada tahun penaklukan Makkah. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, maka beliau menyambutnya dengan suka cita dan ia tetap mengenakan selendangnya hingga dibaiat, beliau pun tetap mengesahkan pernikahan keduanya”[12]
- Hadits yang diriwayatkan oleh Malik dalam Al-Muwaththa’ dengan sanad dari Ibnu Syihab : “Ia menyampaikan bawa pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam para istri kalian masuk Islam di negeri mereka dan mereka tidak berhijrah. Ketika mereka masuk Islam, suami mereka masih kafir. Di antara mereka adalah anak perempuan Al-Walid bin Al-Mughirah, dia adalah istri Shafwan bin Umayyah. Dia masuk Islam pada hari penaklukan Makkah, sedangkan suaminya lari enggan masuk Islam. Rasulullah pun mengirim utusan kepadanya… Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menceraikannya (Shafwan) dengan istrinya, padahal dia masih kafir. Ketika dia masuk Islam, istrinya tetap bersamanya, tidak dicerai’[13]
Dalil-Dalil Pendapat Keempat –Madzhab Syafi’iyah dan Hanbaliyah-
Dalil yang digunakan oleh madzhab Syafi’iyah dan Hanbaliyah yang berpendapat bahwa telah jatuh cerai seketika itu juga saat dia masuk Islam sebelum melakukan persetubuhan dengan dalil-dalil sebagai berikut.
- Perbedaan agama adalah faktor yang menghalangi pernikahan tetap sah. Apabila terjadi sebelum melakukan persetubuhan, maka dia harus segera diceraikan, karena hak kuasa pernikahan tidak dikuatkan dengan persetubuhan, sehingga hak tersebut terputus dengan dia masuk Islam.
- Apabila yang masuk Islam adalah suami, maka dia tidak boleh berpegang teguh kepada tali perkawinan dengan wanita kafir, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ
“Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir” [al-Mumtahanah/60 :10][14]
Adapun dalil-dalil mereka yang menyatakan bahwa perceraiannya ditangguhkan setelah melakukan persetubuhan hingga masa iddah habis adalah sebagai berikut.
- Imam Malik meriwayatkan dalam Muwaththa’ dari Ibnu Syihab : “Bahwa ia telah menyampaikan kabar bahwa istri-istri kalian masih dalam ikatan perjanjian”[15]
- Imam Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab bahwa ia pernah berkata : “rentang waktu ke-islaman antara Shafwan dan istrinya adalah sekitar dua bulan”. Lalu Ibnu Syihab berkata : “Belum ada riwayat yang sampai kepada kami bahwa seorang wanita yang hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, sedangkan suaminya masih kafir dan menetap di Darul Kufr melainkan hijrahnya berarti telah menceraikan ikatan pernikahan antara dia dengan suaminya, kecuali jika sang suami kemudian hijrah sebelum masa iddahnya habis”[16]
Dalil-Dalil Pendapat Kelima –Madzhab Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim-
1. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengembalikan putrinya, Zainab kepada suaminya Abu Al-‘Ash bin Ar-Rabi’ dengan akad nikah yang pertama (ketika masih kafir), dan tidak ada sesuatu pun yang baru”
Dalam redaksi yang lain, beliau mengembalikan putrinya Zainab kepada Abu Al-‘Ash bin Ar-Rabi’, padahal Zainab telah masuk Islam enam tahun sebelum ke-islaman suaminya dengan akad nikah yang pertama, dan tidak ada pengajuan saksi lagi dan tidak pula mahar” [Abu Dawud][17]
2. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menaklukkan Makkah, banyak istri dari orang-orang yang mendapatkan jaminan keamanan telah masuk Islam, sedangkan suami mereka, seperti Shafwan bin Umayyah, Ikrimah bin Abu Jahal dan lainnya agak belakangan masuk Islam, baik dua bulan, tiga bulan ataupun lebih setelahnya. Namun, tidak didapatkan ada satu riwayat pun yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceraikan mereka sebelum dan sesudah masa iddahnya habis. Demikian pula, Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu telah berfatwa : “Bahwa sang istri akan dikembalikan kepada suaminya, meskipun telah berselang lama…Ikrimah datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang dari pengepungan Thaif dan pembagian harta ghanimah perang Hunain, yaitu pada bulan Dzul Qa’dah, sementara penaklukan Makkah terjadi pada bulan Ramadhan, ini berarti ikrimah datang sekitar tiga bulan setelahnya yang memungkinkan masa iddah istrinya maupun selainnya telah habis, namun beliau tetap mengesahkan pernikahannya dan beliau tidak pernah menanyakan kepada istrinya ; apakah iddahnya telah habis atau belum? Begitu juga, beliau tidak pernah menanyakan tentang yang demikian itu kepada seorang wanita pun, padahal pada saat itu banyak sekali suami mereka yang masuk Islam setelah beberapa waktu lamanya yang melebihi masa iddah seorang wanita”[18]
DISKUSI SEPUTAR DALIL-DALIL YANG TERSEBUT DIATAS
Diskusi Dalil-Dalil Pendapat Pertama
1. Dapat kita diskusikan dalil yang mereka gunakan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman …”, bahwa dalam ayat tersebut tidak ada yang menunjukkan keharusan untuk “segera menceraikan’ apabila salah satu dari suami-istri lebih dahulu masuk Islam. Tidak ada seorang pun dari shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memahami demikian, dan tidak pula dari generasi tabi’in, serta tidak ada dalil yang menunjukkan kepada pendapat mereka tersebut sama sekali.
2. Adapun dalil kedua, maka dapat dijawab : “Bahwa atsar-atsar yang disebutkan oleh Ibnu Hazm tersebut bersifat mutlak”[19]
Diskusi Dalil-Dalil Pendapat Kedua
Adapun dalil yang mereka gunakan dengan ijma’ (kesepakatan) para shahabat, yaitu dengan hadits yang diriwayatkan dari Umar Radhiyallahu ‘anhu yang menyatakan bahwa harus ditawarkan agar masuk Islam kepada yang belakangan dari suami istri yang belum masuk Islam adalah sebagai berikut.
- Dalam riwayat yang pertama terdapat Yazid bin Alqamah, dia adalah seorang perawi yang majhul (tidak diketahui identitasnya ,-pent), dan di dalamnya juga terdapat As-Safah Dawud bin Kardaros, keduanya pun perawi yang majhul.
- Dalam riwayat yang kedua terdapat Ishaq Asy-Syaibani, dia tidak pernah bertemu dengan Umar Radhiyallahu ‘anhu, sehingga riwayatnya dari Umar tidak shahih.
- Riwayat tersebut menyelisihi riwayat lain yang shahih dari Umar Radhiyallahu ‘anhu.[20]
Diskusi Dalil-Dalil Pendapat Ketiga
1. Dalil yang mereka gunakan dari ayat yang mulia : “Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir” [al-Mumtahanah/60 : 10][21]. Jelas sekali, memang benar bahwa seorang muslim diperintahkan untuk tidak berpegang dengan tali perkawinan dengan perempuan kafir apaila perempuan ini tidak mau masuk Islam, dan bahwa ketika sang suami masuk Islam, maka terputuslah ikatan perkawinan dengan perempuan kafir tersebut … Di dalamnya mengandung makna penegasan akan haramnya pernikahan antara orang-orang muslim dengan orang-orang kafir… Namun di dalamnya tidak menyebutkan bahwa salah satu dari suami-istri tidak boleh menunggu pasangannya masuk Islam, sehingga dia menjadi halal lagi jika keduanya telah masuk Islam.
2. Adapun atsar yang diriwayatkan Imam Malik dari Ibnu Syihab tentang kisah masuk Islamnya Ikrimah bin Abu Jahal, maka dapat di jawab bahwa atsar tersebut adalah mursal (dalam sanadnya tidak ada shahabat, sehingga dari generasi tabi’in langsung Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) padahal atsar mursal tidak dapat dijadikan hujjah.[22]
Diskusi Dalil-Dalil Pendapat Keempat
1. Pendapat mereka yang mengatakan bahwa telah jatuh cerai seketika itu juga, sesungguhnya dalil yang mereka gunakan bukan bermakna “ segera diceraikan” ketika salah satu dari suami-sitri lebih dahulu masuk Islam. Tidak ada seorang-pun dari para shahabat yang memahami demikian, dan tidak pula generasi tabi’in, serta tidak ada dalil yang menunjukkan kepada pendapat mereka tersebut sama sekali.
2. Dalil yang mereka gunakan dari ayat yang mulia : “Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir” [al-Mumtahanah/60 : 10], telah dijawab dalam diskusi dalil-dalil pendapat ketiga.[23]
Adapun dalil-dalil yang mereka gunakan bahwa perceraian ditangguhkan setelah melakukan persetubuhan sampai masaa iddahnya habis, juga telah kami diskusikan, yang kesimpulannya sebagai berikut:
Hadits yang diriwayatkan oleh Malik dari Ibnu Syihab tentang kisah masuk Islamnya Shafwan dan Ikrimah telah kami diskusikan dalam dalil-dalil pendapat ketiga.
Pendapat Yang Lebih Rajih (Unggul)
Selama pemaparan pendapat-pendapat para ulama dan penyebutan dalil-dalil dari setiap pendapat serta pendiskusian semua dalil tersebut, maka jelas bagi saya bahwa pendapat yang lebih rajih (unggul) adalah pendapat kelima (yaitu pendapatnya Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim)… Alasannya adalah sebagai berikut.
- Dalil-dalil yang mereka gunakan sangat kuat.
- Pendapat ini mengandung kemaslahatan bagi kedua belah pihak (suami-istri)… Kemaslahatan tersebut akan semakin jelas dengan keterangan di bawah ini.
- Menurut sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tetap menyatukan suami-istri apabila salah satunya lebih dahulu masuk Islam sebelum pasangannya, dan keduanya sama-sama ridha jika pernikahannya tetap dipertahankan, keduanya tidak diceraikan dan tidak perlu dilakukan akad baru. Apabila istri lebih dahulu masuk Islam, maka dia punya hak untuk menunggu suaminya hingga mau masuk Islam. Kapan saja saumi masuk Islam, maka dia tetap menjadi istrinya. Sedangkan apabila suami lebih dahulu masuk Islam, maka dia tidak punya hak untuk menahan istrinya bersedia menjadi istrinya lagi dan tetap berpegang teguh dengan tali perkawinannya. Jadi, dia tidak boleh memaksa istrinya masuk Islam dan tidak boleh pula menahannya menjadi istrinya lagi.
- Pendapat yang menyatakan “harus diceraikan” hanya semata-mata karena masuk Islam adalah pendapat yang akan menyebabkan orang-orang justru lari dari Islam.[24]
[Disalin dari kitab Akhkaamu Nikaakhu Al-Kuffaar Alaa Al-Madzhabi Al-Arba’ah, Penulis Humaidhi bin Abdul Aziz bin Muhammad Al-Humaidhi, Murajaah DR. Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim Ali Asy-Syaikh, edisi Indonesia Bolehkah Rumah Tangga Beda Agama?, Penerbit At-Tibyan, Penerjemah Mutsana Abdul Qahhar]
_______
Footnote
[1] Zaadul Ma’ad oleh Ibnul Qayyim : V/135, Terbitan Muassasah Ar-Risalah
[2] Lihat Al-Muhalla oleh Ibnu Hazm : IV/314 Terbitan Daar Al-Fikr
[3] Hasyiah Ibnu Abidin III/188 dan Syarh Fath Al-Qadir III/418, 419.Ibnu Qudamah mencantumkan semua itu dalam Al-Mughni yang dinisbatkan kepada Abu Hanifah VI/614.
[4] Al-Kafi oleh Ibnu Abdil Barr II/549, 550
[5] Lihat Mughni Al-Muhtaj III/191, lihat pula Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah VI/614-616 dan Kasysyaf Al-Qana V/119
[6] Silakan periksa Ahkaam Ahli Adz-Dzimmah oleh Ibnul Qayyim I/320 dan halaman selanjutnya.
[7] Al-Muhalla oleh Ibnu Hazm IV/316
[8] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam shahihnya dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘ahu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau pernah bersabda :
اَلْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ لِسَانِهِ وَ يَدِهِ، وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
“Seorang muslim adalah orang yang lisan dan tangannya selamat dari menyakiti kaum muslimin yang lain, dan seorang muhajir adalah orang yang menjauhi segala apa yang dilarang oleh Allah”.
Lihat Fath Al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari I/53, Kitab Al-Iman Bab Al-Muslimu man Salima Al-Muslimun min Lisanihi wa Yadihi.
[9] Laki-laki ini bernama Abdullah bin Nu’man bin Zar’ah, dia seorang yang beragama Nasrani dan istrinya masuk Islam. Lihat Mushannif ibnu Abi Syaibah, kitab Ath-Thalaq V/90-91
[10] Tabyin Al-Haqaiq II/174
[11] Lihat Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah VI/614, dan Tanwir Al-Hawalik Syarh ‘ala Muwaththa Malik VI/76
[12] Ibid, dalam Bab Nikah Al-Musyrik Idza Aslamat Zaujatuhu
[13] Ibid : 75 dan halaman selanjutnya
[14] Silakan periksa Al-Mughni VI/614 dan Kasysyaf Al-Qana V/119
[15] Hadits ini telah ditakhrij sebelumnya, lihat hal.59 (dalam edisia Arabnya), dan silakan lihat Takmilah Al-Majmu XVI/95-96
[16] Tanwir Al-Hawalik Syarh Muwaththa Malik II/76
[17] Sunan Abu Dawud –kitabu Ath-Thalaq- Bab Ila Mataa Turaddu Alaihi Imratuhu Idza Aslama Ba’daha, hadits no. 2240, II/675 dan Musnad Ahmad I/217, 261, 351
[18] Ahkam Ahli Dzimmah oleh Ibnul Qayyim I/325
[19] Silakan lihat Ahkamu Ahli Adz-Dzimah I/339-340, 341,322
[20] Al-Muhalla oleh Ibnu Hazm IV/314
[21] Silakan lihat Ahkaam Ahli Adz-Dzimmah I/229 dan halaman selanjutnya.
[22] Al-Muhalla oleh Ibnu Hazm IV/315
[23] Silakan lihat hal. 72 (edisi Arabnya) dalam diskusi dalil-dali pendapat ketiga
[24] Lihat Ahkaam Ahli Adz-Dzimmah I/343-344
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3987-dampak-dari-suami-istri-atau-salah-satunya-masuk-islam-terhadap-status-pernikahan.html